Menjadi pendamping kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, tidaklah mudah. Selain harus menolong korban, dia juga harus menolong dirinya sendiri. Ancaman atau ejekan baik dari pelaku atau keluarga pelaku seringkali mereka dapatkan. Tak hanya itu, pendamping terkadang stress berat dan juga depresi karena tidak sanggup dengan penderitaan korban yang didampinginya. Tidak sedikit dari mereka yang stress karena merasa gagal menjadi pendamping atau bahkan depresi karena tak sanggup merasakan penderitaan korban yang didampinginya.
Martha Hebi, salah seorang pendamping kasus kekerasan terhadap perempuan yang berasal dari Sumba, yang aktif memerangi kawin tangkap di daerahnya karena dianggap sebagai bentuk ketidak adilan yang berlapis pada perempuan, menceritakan kepada Konde, bagaimana beratnya menjadi pendamping. “dia tidak tahan melihat korban yang tidak mendapatkan perawatan sebagaimana semestinya sehingga alat reproduksi cidera berat karena diperkosa oleh 10 orang” ucapnya getir.
Kegetiran Martha kian menjadi. Karena para relawan pendamping ini tidak bisa mendapatkan psikolog yang bisa membantu mereka. Sehingga tak ada cara lain yang bisa mereka lakukan selain berusaha menolong diri sendiri.
Tulisan ini ditulis ulang oleh Mustika Sari dan diadaptasi dari sumber: https://www.konde.co/2021/11/mereka-bekerja-dalam-senyap-perempuan-pendamping-korban-kekerasan-seksual/ dengan judul asli “Perempuan yang bekerja dalam Senyap: Para Pendamping Korban Kekerasan Seksual” karya Esti Utami.