Search
Close this search box.

Diskusi Publik: “Krisis Iklim dan Kekerasan terhadap Perempuan” Mengungkap Kekerasan terhadap Perempuan di Tengah Upaya Mempromosikan Transisi Hijau Berkeadilan

Krisis iklim bukan hanya menimbulkan dampak lingkungan, tapi juga memperburuk kehidupan sosial dan ekonomi. Kekeringan yang terjadi mempersulit pemenuhan kebutuhan air bersih, baik untuk konsumsi manusia maupun untuk irigasi pertanian. Di tengah cuaca ekstrem, seperti banjir, siklon, dan kebakaran hutan, serta semakin tingginya permukaan air laut, kita semakin menyadari bahwa eksploitasi sumber daya alam turut memperburuk krisis ini.

Namun, yang lebih mengkhawatirkan, krisis iklim juga memicu peningkatan kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya. Lantas, mengapa perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak di tengah krisis ini?

Kekeringan dan Dampaknya pada Perempuan

Salah satu dampak langsung dari krisis air adalah perempuan yang harus menempuh jarak jauh untuk mengakses sumber air bersih. Ketegangan ini seringkali berujung pada kekerasan domestik, mengingat perempuan juga harus mengurus pengasuhan anak dan menjaga rumah tangga. Selain itu, kekurangan air berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan dan menambah beban kerja mereka dalam hal pengasuhan dan pemenuhan kebutuhan keluarga.

Krisis pangan yang diakibatkan oleh kekeringan juga mengarah pada ketegangan rumah tangga. Ketika persediaan pangan menipis, banyak perempuan yang merasa tertekan karena sulit memenuhi kebutuhan keluarga, yang seringkali berujung pada percekcokan dengan pasangan. Tak hanya itu, kondisi ekonomi yang semakin sulit turut menurunkan pendapatan suami, dan perempuan juga merasakan dampaknya.

Perampasan Lahan dan Peningkatan Kekerasan terhadap Perempuan

Selain itu, perampasan lahan oleh korporasi, terutama untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit dan tambang nikel, semakin memperburuk posisi perempuan. Perempuan, khususnya aktivis lingkungan, seringkali menjadi sasaran kriminalisasi dalam upaya mereka mempertahankan tanah dan hak-hak adat. Kehadiran industri besar yang tidak melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan seringkali menyebabkan kerusakan sosial dan ekonomi, bahkan memunculkan praktik prostitusi.

Krisis Iklim dan Minimnya Perlindungan bagi Perempuan

Dari semua dampak tersebut, jelas terlihat bahwa perempuan semakin terpinggirkan. Perlindungan dari pemerintah, terutama dalam program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, sangat minim. Padahal, untuk menciptakan transisi hijau yang adil dan inklusif, sangat penting memastikan perempuan dan kelompok rentan lainnya tidak tertinggal dalam proses perubahan ini.

Diskusi Publik: Mengangkat Suara Perempuan dalam Krisis Iklim

Berangkat dari isu-isu krisis iklim dan kekerasan terhadap perempuan, Indonesia Women’s Rights Fund (IWRF) Penabulu menggelar Diskusi Publik: “Krisis Iklim dan Kekerasan terhadap Perempuan” 16 Desember 2024 di Jakarta. Diskusi ini juga dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP).

Apa Kata Mereka tentang Krisis Iklim dan Kekerasan terhadap Perempuan?

Dalam diskusi ini, hadir sebagai pembicara Veryanto Sitohang Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Uli Arta Siagian Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, dan Siti Mazumah Ketua Forum Pengada Layanan. Mereka menyampaikan pandangan yang mengungkapkan betapa eratnya kaitan antara krisis iklim dengan kekerasan terhadap perempuan.

Veryanto Sitohang menyampaikan, “Temuan Komnas Perempuan, perubahan lingkungan itu turut melemahkan ekonomi dan keamanan perempuan, baik sosial maupun keluarga. Selama 20 tahun kami menerima banyak laporan dari masyarakat yang mengaitkan kerusakan lingkungan dengan kekerasan terhadap perempuan.” Menurutnya, krisis iklim tidak hanya berdampak pada kerusakan alam, tetapi juga memicu kemiskinan yang meningkatkan kerentanannya.

Uli Arta Siagian menambahkan, “Krisis iklim, yang dimulai dari kerusakan alam akibat eksploitasi berlebihan, mengakibatkan penurunan sumber pangan yang pada akhirnya dapat berdampak kepada perempuan sebagai salah satu aktor penting dalam rantai produksi pangan. Hilangnya ekonomi rakyat yang bertumpu pada alam akan membuat perempuan terlempar ke sektor padat karya, menjadi buruh kerja murah, sementara mereka masih dibebankan kerja-kerja reproduksi sosial. Hal itu menyebabkan beban ganda terhadap perempuan. Ketika sumber pangan menurun, perempuanlah yang paling terdampak. Kehilangan hutan berarti kehilangan pengetahuan yang sudah diwariskan turun temurun, dan itu memperburuk ketegangan dalam keluarga.”

Sementara itu, Siti Mazumah mengingatkan bahwa meskipun bantuan seringkali diberikan, perempuan kerapkali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perubahan iklim dan kebijakan adaptasi.

Peserta diskusi, yang hadir baik secara luring maupun daring, juga mengungkapkan kekhawatiran yang sama. Sebagian besar dari mereka menyadari pentingnya perhatian terhadap hubungan antara krisis iklim dan kekerasan terhadap perempuan. Banyak yang berpendapat bahwa topik ini harus menjadi bagian dari gerakan yang lebih besar, yang melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk menghadapi krisis ini secara holistik.

Keterlibatan Perempuan dalam Solusi

Penting untuk diingat bahwa dalam setiap kebijakan terkait perubahan iklim, keterlibatan perempuan harus menjadi prioritas utama. Mereka adalah aktor kunci dalam mengatasi tantangan perubahan iklim dan pembangunan yang berkelanjutan. Pemerintah perlu memperkenalkan kebijakan yang inklusif dan adil untuk memastikan perempuan dan kelompok rentan lainnya tidak hanya menjadi penerima dampak, tetapi juga bagian dari solusi.

Dengan adanya dialog seperti ini, kita bisa lebih memahami hubungan antara krisis iklim dan kekerasan terhadap perempuan, serta bersama-sama bergerak menuju masa depan yang lebih berkeadilan bagi semua.

Sumber : Tim Sekretariat IWRF

Bagikan